MORALITAS KORUPTOR
ABSTRAK
RAHMAH DWI ASTUTI, 15211769, 4EA22
KATA KUNCI :
Didalam kehidupan sosial, manusia
dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Tidak
seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang
berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut
moral. Moral menekankan manusia untuk bisa mmbedakan mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam
kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral.
Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. Pada penulisan kali ini, penulis
membicarakan tentang moral seorang koruptor. Koruptor yang biasa disebut orang
yang melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana
moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan
mudah melakukan hal seperti itu.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Moral
adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian
diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan
lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau tidak bermoral
Semua orang
sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan
aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang
tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia
dengan makhluk yang lain. Tentu akal budinya.
Akal
budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang
buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu,
hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali
budi.
Dari sini
kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat.
Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada
kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan
diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya
kemudian digagas untuk menggapai kebaikan. Maka dalam latar belakang diatas
penulis akan menulis tentang “MORALITAS
KORUPTOR”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah maka dapat disusun pertanyaan yang hendak diteliti adalah
sebagai berikut :
1.
Mengapa
korupsi bisa terjadi ?
2.
Bagaimana
dampaknya bagi kegiatan bisnis ?
3.
Siapa
yang harus bertanggung jawab ?
1.3 Batasan
Masalah
Batasan masalah penelitian mencakup
tentang moralitas dan juga korupsi.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian kali ini
bertujuan untuk mencari tahu mengapa korupsi bisa terjadi ? bagaimana dampaknya
bagi kegiatan bisnis ? dan siapa yang harus bertanggung jawab ?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Moralitas
Moralitas
berasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan.
Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran
tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan
lain-lain; akhlak budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang
tetap berani; bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moralitas
yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur
pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat
membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat
mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
Secara terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran
yang memiliki sudut pandang yang berbeda:
Franz
Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai
dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas adalah sikap
hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan
merupakan ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas terdapat apabila orang
mengambil sikap yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya
dan bukan ia mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik
yang betul-betul tanpa pamrih.
W.
Poespoprodjo, moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu
kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan
kata lain moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan
manusia.
Immanuel
Kant, mengatakan bahwa moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam
bahasa Kant, apa yang baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan
sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa
pembatasan, jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik
begitu saja atau baik secara mutlak.
Emile Durkheim mengatakan, moralitas adalah suatu sistem
kaidah atau norma mengenai kaidah yang menentukan tingka laku kita.
Kaidah-kaidah tersebut menyatakan bagaimana kita harus bertindak pada situasi
tertentu. Dan bertindak secara tepat tidak lain adalah taat secara tepat terhadap
kaidah yang telah ditetapkan.
Dari
pengertian tersebut, disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu
ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk
terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan
berdasarkan konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan
berdasarkan akal sehat yang objektif.
2.2 Pengertian
Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa
Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk,rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat
publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dalam arti
yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam
bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung
korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh
para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama
sekali.
2.3 Dampak Negatif Korupsi
·
Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
·
Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunanekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat
distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos
manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
2.4 Kesejahteraan Umum Negara
Korupsi politis
ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan
pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan
besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian ini
menacari informasi dari berbagai sumber untuk menjawab rumusan dan tujuan
masalah. Data yang digunakan penulisan ini menggunakan data sekunder. Data
Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai
sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat
diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku,
laporan, jurnal, dan lain-lain.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Mengapa Korupsi Bisa Terjadi
Berikut ini
merupakan faktor-faktor penyebab korupsi yang biasanya terjadi :
1.
Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya
sebagai make-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian
pemerintahan.
2.
Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut
dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
3.
Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan
pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
4.
Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan
yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu
mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan
terbaik bagi masyarakat.
5.
Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu
melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan keuntungan.
6.
Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7.
Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada
keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga
dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi
> kerugian bila tertangkap.
8.
Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu :
menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang
lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9.
Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya
pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang
memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada
masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan
emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan
umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi
dirinya maupun orang lain. (indopos.co.id, 27 Sept 2005)
4.2 Bagaimana Dampaknya Bagi Kegiatan Bisnis
Dampak
korupsi terhadap bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh,
secara tidak langsung akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan
ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga
menciptakan perilaku buruk yang dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang
tidak sehat karena dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi
perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan
persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti
tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh
korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing –
masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan
karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan
menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini
dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan
dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di
Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan
harta dan mementingkan diri sendiri.
4.3 Siapa Yang Harus Bertanggung Jawab
Sesuai
Keppres 31 Tahun 1983, BPKP telah memangku tugas pokok: mempersiapkan perumusan
kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan, menyelenggarakan
pengawasan umum dalam penggunaan dan pengurusan keuangan, menyelenggarakan
pengawasan pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok tersebut terjabarkan dalam 16
(enambelas) fungsi, yang salah satunya adalah: “melaksanakan pengawasan khusus
terhadap kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus
yang diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah.” Ke-15 (limabelas) fungsi lainnya adalah dalam rangka pengawasan dalam
perbaikan manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh
masukan sebagai dasar pendalaman dari pengaduan masyarakat dan pengembangan
dari hasil pemeriksaan.
Menurut
kamus Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan,
penggelapan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 1999,
unsur-unsur korupsi adalah: dilakukan oleh orang atau badan, adanya perbuatan
melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kehidupan
sehari-hari, praktik tindak pidana korupsi sendiri sebenarnya juga seringkali
tidak disadari oleh pelaku.
Dalam
praktik pemeriksaan, seringkali diketemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan
berbenturan dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan harus
berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki telah
memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti adalah
benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan pemeriksa
bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu diungkapkan.
Masalah-masalah kecil tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di atas adalah
salah satu alasan mengapa pemeriksaan seringkali gagal mengungkap tindak pidana
korupsi. Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan aparat,
melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak sadar dan
sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari negara
tercinta ini. Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan
efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan
seluruh komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta
sebuah iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang
besar-besar, yang seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.
BAB V
KESIMPULAN
5.1Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas bisa
disimpulkan bahwa moralitas dapat
menjadi tolak ukur bagi manusia untuk mebedakan mana perbuatan yang baik dan
mana yang buruk. Banyak sekali faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
korupsi, dari faktor tersebut lagi lagi adalah hokum yang merupakan salah satu
keadilan bagi rakyat tidak bisa berbuat apa apa untuk para koruptor, dan
mungkin itu salah satu juga yang menjadi surga bagi para koruptor untuk
melakukan kegiatan korupsinya, semakin lemah kekuatan hukumnya semakin besar
celah korupsi bagi para koruptor.
5.2 Saran
Tanamkanlah
sikap disiplin dan juga pendidikan agama yang baik sejak dini, itu merupakan
modal awal manusia untuk bisa mencegah segala perbuatan korupsi yang dapat
merugikan Negara. Dan juga menguatkan kekuatan hukum bagi pelaku korupsi,
seperti hukuman mati agar para koruptor merasa takut dengan hukuman tersebut
dan mungkin dapat sedikit mengurangi tingkat korupsi di Negara ini.
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/COMPAQ/Downloads/Moralitas%20Koruptor%20~%20Eri%20Cahyo%20Nugroho.htm